Enjoy Parts of Loving Lifetime Story

Rabu, 02 Februari 2011

SELINGAN ~

seperti yang kalian tau, cerita utama di blog ini My Loving Lifetime
tapi dikasih selingan juga gapapa yaaa? ahaha

Epilog


N
iel namaku. Aku tinggal di bumi Bandung. Bertahun-tahun aku menunggu pembelajaran di sekolah umum seperti biasanya. Tetapi, aku tidak dapat bersekolah di sekolah publik seperti anak-anak pada umumnya karena kondisi fisik dan mentalku.

Mata hijau muda mengkilat, rambut pirang, kulit putih, bibir merona dan hidung mancung gambaran wajahku. Jika kalian bayangkan, pasti muncul di benak kalian bahwa aku adalah anak Indo yang cantik jelita. Tapi, semua itu salah. Aku sama sekali tidak indo, papa orang Manado dan mama orang Surabaya. Luka goresan dan luka bakar menjadi properti wajahku, kulit putihku seperti melebur-dan mengelupas.

Ya, benar, akulah korban kekerasan terhadap anak. 5 tahun yang lalu,ketika umurku 10 orangtuaku meninggal karena kecelakaan pesawat. Aku I dipungut dari panti asuhan oleh orang yang sifatnya tidak secantik parasnya. Aku dijadikan pembantu, dan selalu diperlakukan kejam. Ujungnya, dia membakarku dengan api di atas tungku minyak.

Keadaanku yang menjijikkan, membuat semua anak takut melihatku, sehingga aku tidak diperbolehkan sekolah di sekolah umum.
Mereka bilang aku dapat memancing emosi dan mental anak-anak lainnya, sehingga aku dibuang begitu saja. Beruntung aku diasuh oleh sepasang kakek nenek yang kaya dan baik hati.

Aku home-schooling, mengukir prestasi dengan cara modern sehingga akulah pencipta alat penggaruk punggung otomatis-kikuk sekali, tapi aku tidak punya teman banyak.

SATU-SATUNYA TEMANKU YANG SETIA BERNAMA ECA.




























Part One
Missing Letter

“Cip .. Cip,” nyanyian burung membangunkan aku. Aku melek sebentar, memasang kaca mata, lalu merem lagi. Belom lama aku merem, KRINGG! Tiba-tiba jam beker bunyi.
Aku melek. Apakah aku bakal tidur lagi? Enggak dong. Kalau jam beker pink kesayanganku udah bunyi, aku gak bakal tidur lagi. Aku berjalan oleng ke luar kamar-menuju kamar mandi, untuk gosok gigi. 2 langkah lagi aku akan menyentuh kenop pintu, tiba-tiba pintu terbuka sehingga menabrak wajahku, GUBRAK! Aku jatuh terkulai ke lantai. Kacamataku jatuh juga.
“Niel! Maaf, kamu gak apa-apa?” kata seseorang yang kukenal. Kulihat wajahnya samar-samar, terlihat anak laki-laki berkulit gelap dengan mata bulat.
Eca. Meskipun aku tidak bisa melawan miopi level 4 ku, aku yakin dia Eca.
Eca memasang kacamataku dan membantuku berdiri. Nah, sekarang udah jelas. Bener kan, dia Eca.
“Sori, El,”katanya lagi. Aku menatapnya sebal. Berani juga dia masuk kamar anak perempuan tanpa izin dari pemiliknya, nyelocos lagi.
“Ca, gimana baiknya aku, emangnya aku kelihatan baik-baik aja?”Kataku sambil menunjuk kacamataku yang retak karena kepamaliannya itu.
“Ya, sori,”kata Eca gampang.”Kalo itu pecah juga, kamu mau nyuruh aku ngapain kacamata kamu?”
Begitulah Eca. Sifatnya yang menggampangkan segalanya, menyulitkan kegampangan. Entah kenapa sejak 2 tahun terakhir ini aku bisa segitu sabarnya bersahabat dengan makhluk aneh yang satu ini.
“Eh, El,”kata Eca tiba-tiba. Aku menanggapi tanpa melihat matanya.
“Semenjak kamu ditolak Zahea, kok kamu jadi suka nyuekin aku sih? Aku salah apa?”kata Eca mengharap. Aku menatap matanya dengan rasa pasrah.
Ya,, benar, aku punya teman yang aku sukai, namanya Zahea. Zahea beda sama Eca. Zahea sopan, baik hati, pintar, dan ganteng juga. Yah, first love-ku ternyata tidak mau pacaran sama aku, membuat aku jadi patah hati.
Sebenarnya wajar sih jika semua cowok tidak mau bersamaku. Tahu kan, keadaanku, luka bakar di mana-mana. Tapi, Tuhan itu adil. Setidaknya pasti ada satu cowok yang mau sama aku.
Andai aku punya pacar, aku bakalan ngasih yang terbaiik untuk pacarku itu, pasti, aku janji, nggak boleh nggak, apalagi kalo pacarku itu seperti Zahea, wah, pasti aku seneng banget. Aku janji bakalan langgeng sampai tunangan, nikah, punya anak, punya cucu, punya cicit, punya anaknya cicit…
“Niel?”kata Eca sambil melambaikan tangannya di depan mataku. Aku kaget.
“Iih Eca, gangguin aja. Orang lagi asyik juga,”kataku. Eca memandang mataku. Lalu, dia menghela napasnya.
“Ya udah. Kalo emang kamu bener-bener suka sama Zahea. Lanjutin aja lagi khayalan kamu,”kata Eca.
Eca mengambil alih menuju ranjangku, ninggalin aku di lantai. Eca bersandar sambil mengotak-ngatik bantalku.
Bantalku? Kayaknya ada yang kelupaan. Biarin aja deh.
Aku beranjak pergi, ketika aku akan membuka pintu kamarku, Eca tertawa cekikikan. Aku menoleh, dia sedang membaca buku berwarna biru muda, itulah BUKU HARIANKU!
“Eca! Heh! Dasar anak nakal kamu ya!” spontan aku langsung merebut buku harianku. Tapi, dia rebut lagi. Dia menariknya kasar, sehingga aku terdorong ke tempat tidur.
“Niel! Minggir!”usirnya. Aku bersikeras,”Nggak mau! Siniin dulu buku harianku!”kataku. Ketika kami sedang berantem, Nenek Opi membuka pintu kamar dan melihatku masih crumut bersama Eca di atas tempat tidur.
“Niel? Eca? Sedang apa kalian?” pandang nenek curiga. Aku melihat nenek kaget, dan aku baru sadar kalo aku berada di atas ranjang bersama Eca lagi!
Aku merebut bukuku dan turun dari tempat tidurku menuju kamar mandi. Membuat nenek semakin curiga, tentunya.
“Eca, apa yang kamu lakukan? Niel masih kecil, belum pernah pacaran lagi,”kata Nenek Opi. Eca memandang Nenek Opi yang meskipun sudah tua tapi masih segar bugar itu.
“Nenek,”katanya.”Aku tadi rebutan diary sama Niel. Aku juga yang salah, ngotak-ngatik bantalnya Niel terus nemu diary nya, udah gitu gak dibalikin lagi,”kata Eca.
“Niel akan baik-baik aja. Nggak ada hubungan apa-apa antara aku dan Niel kok,”kata Eca.
Sementara aku, di kamar mandi, sedang gosok gigi. Sebenarnya aku masih ngantuk, jadi aku gosok giginya oleng, mana kacamataku retak gara-gara Eca lagi, sial.
Aku tidak sengaja menelan pasta gigi dalam jumlah yang banyak, membuat perutku mual. Spontan aku langsung kumur-kumur, karena sangat tidak enak, tidak sengaja aku menelan airnya, membuat aku enek banget dan tidak tahan untuk muntah.
“HUEK!”muntahku. Nenek Opi mendengarnya. Nenek Opi langsung menaruh curiganya pada Eca. “Niel!”kata Nenek seraya membuka pintu kamar mandi. Nenek melihat aku penuh pasta gigi di sekeliling mulutku sambil muntah. Beliau sangat curiga
Nenek pasti mengira kalau aku dan Eca ...
***

Ketika aku sarapan, tentu saja bersama Eca, nenek masih memandang kita berdua dengan tatapan curiga. Aku makan dengan nafsu-seperti biasanya. Pemandangan ini membuat nenek melepas kecurigaannya. Nenek sudah bisa tenang. Tapi, tentu saja belum sepenuhnya.
Biasanya aku berangkat bareng Eca, tapi berhubung nenek lagi curiga, aku berangkat sendiri. Di jalan, aku bisa melihat orang-orang jijik melihatku.
Sampai di sekolah khusus yang satu kelas hanya terdiri dari 1 murid dan 1 guru. Aku tidak bahagia dengan keadaan ini.
Aku ingin berbagi tawa dengan teman, aku ingin dihibur oleh teman, aku ingin punya teman yang selalu ada di setiap suka dan duka.
Aku iri dengan teman-temanku yang bisa ngobrol dengan temannya ketika guru sedang lengah. Meskipun mereka tidak terlalu pintar, paling tidak mereka bisa berkomunikasi dengan baik.
Keseharianku hanya bersama Eca, Eca, Eca, dan Eca. Kadang Eca juga menyebalkan seperti kejadian pada pagi tadi.
Sekarang jam 2 siang. Saatnya pulang ke rumah. Eca biasanya udah nunggu di depan sekolah. Tapi,  hari ini dia telat. Udah setengah jam nunggu, dia gak dating-dateng.
“Niel,”kata seseorang dari belakangku. Aku menoleh ke belakang. Kukira Eca, ternyata bukan. Seorang cowok cute berdiri di belakangku.
“Niel, terima surat ini..,”katanya sambil menyodorkan amplop putih. Di sisinya terdapat stiker ‘love you’. Dari ciri-cirinya aku yakin kalau itu adalah surat cinta.
“Kutunggu jawabanmu..,”katanya lagi.
Aku menyimpan surat itu ke dalam tasku. Kutunggu lagi Eca, tapi gak dateng-dateng. Aku mikir lagi, kalo Eca gak dateng-dateng, kenapa aku gak nunggu sambil baca surat dari cowok cute tadi ya?
Aku mengambil surat itu, kusobek ujungnya dengan ganas, dan membacanya sambil mengemut permen loli.

Dear Niel,
Aku Rehsa, yang tadi ngasih kamu surat itu namanya Sano, aku sengaja nitip ke dia karena wajahnya cute, membuatmu tertarik untuk membuka surat ini. Tapi, aku mohon dengan sangat, jangan jatuh hati sama dia ya?
Oalah. Ternyata bukan dia. Sudah kuduga dia hanya perantara. Aku melepas permen loliku dan membacanya lagi.
Kamu anak kelas privat itu kan? Aku selalu memandangmu dari kantin yang searah sama toilet cowok. Aku sering bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk memandang wajahmu yang sangat cantik, kesempurnaanmu menghiasi hariku.
Sampe sini, aku yakin dia malas nulis pake huruf latin yang kesannya romantis-romantis gitu. Dia pikir surat seperti ini dapat mengalihkan perhatianku, tapi menurutku tidak. Malah menyindir aku. Cantik apanya, dengan luka bakar di mana-mana.
Aku sangat tertarik untuk mengenalmu lebih lanyut. Maukah kamu jadi pendamping hidupku?
Aku tidak tertarik kalo belom ketemu orangnya langsung. Lagian, “lanyut” itu apa?
Aku memandang ke kiri dan ke kanan tapi belum kutemukan motor Eca. Yang ada motor Harley berplat B 8822 II pamer di depanku. Pengemudinya turun, dan ..
“Niel, gimana suratku? Kamu terima aku?”
Aku menoleh. Aku terpana. Aku menganga. Seorang lelaki bertubuh jangkung tapi berisi, berambut hitam dan berwajah tampan berdiri di depanku, dan sangat menghiasi pemandanganku.
“Kamu.. Rehsa?”tanyaku. Dia menuntunku ke motornya tanpa ekspresi.
Wow, ini pertama kalinya aku naik motor Harley. Aku jadi kayak orang awam, celingukan ke kanan kiri.
“Iya akulah Rehsa, gimana Niel, kamu terima aku nggak?”katanya malu.
Aku terdiam. Aku masih suka sama Zahea. Tapi, aku penasaran siapa dia.
Dia berhenti sejenak di pom bensin, dia mengeluarkan dompetnya dan STNK-nya terjatuh. Kulihat dialah sang pemilik harley itu, bukan atas nama kedua orangtuanya.
Aku menganga. Itu mencerminkan bahwa Rehsa adalah orang kaya yang matre dan suka pamer kekayaan di mana-mana, tapi seleranya rendah.
Ketika Rehsa akan mengambil STNK-nya, dia menatap mataku dekat-dekat. Mungkin jaraknya cuma 2 jengkal-an.
“Gimana Niel?”tanyanya.
“Tau. Aku gak bisa mikir sekarang.”kataku.
Rehsa terdiam. Dia menurunkanku tepat di depan rumahku.
“Thanks ya!”kataku.
Rehsa masih diam membabi buta (?)
Aku bergegas masuk rumah. Aku gak liat Eca. Di mana ya?
“Aku pulaang.. Nenek Opi? Eca?”kataku. Aku mencari merka berdua. Tapi suasana tetap hening.
Aku mulai ketakutan ada sesuatu yang terjadi dengan mereka berdua. Aku mencari mereka ke segara penjuru rumah, mereka tetap tidak ada di mana-mana. Aku ketakutan sekali.
Aku telpon si Eca, dengan harapan dia mengangkatnya. Biasanya, di film-film, di keadaan seperti ini pasti tidak ada yang bisa dihubungi. Tapi, ini kok ..
“halo..”kata Eca menjawab telpon.
“Kamu di mana Ca?”kataku.
“Tumben nyariin .. Aku di Dago lagi beli baju sama nenek,”katanya.
Jah! Berarti selama ini dia ngak jemput aku karena lagi seneng-seneng sama Nenek OPi? Pinter!
Tanpa berkata-kata aku menutup telponnya. Aku loncat ke sofá dan tiduran di situ. Aku mikirin Rehsa.
Rehsa.. Cute, tinggi, mungkin kaya karena punya motor Harley pribadinya .. Tapi matre, sok kaya.
Aku bertekad untuk menolaknya. Mana bisa pacaran, kenal seminggu aja nggak ada.
Aku bergegas ke kamarku. Tanpa ganti baju dan buka sepatu, aku langsung merebahkan diri di  tempat tidurku.
Aku memejamkan mata, menguap dan akhirnya tidur, sekarang, jam 15.22.

***

Part Two
Why love is so unfair?

Enak banget tidur siangku kali ini. Ga ada Nenek Opi yang gangguin aku, ga ada Eca yang bangunin aku (eh kebalik ding), abcdefghijkl, zz. Mimpi juga nggak yang aneh-aneh, cuma mimpi ke Dufan Jakarta sama mama-papaku. Aku ga bakal bisa mencapainya.
Aku kebangun sama SMS dari Rehsa. Ngajak ketemuan jam 5 tuh. Saatnya siap-siap nolak Rehsa nih.
Rehsa jemput aku jam setengah lima. Aku ga bakal ngomong kalau dia nggak nanyain “mau apa nggak jadi pacarku”.
Dia nggak nanyain tuh. Akhirnya ketemuan kita berlangsung dingin. AKu asyik dengan duniaku, dan dia asyik dengan dunianya sendiri.
“El, ke Matahari yuk,”ajak Rehsa ramah.
“OK,”kataku dingin.
Kami berdua ke Matahari. Tapi, aku dibikin heran dengan melihat seseorang yang mirip dengan Zahea.
Aku mendekatinya. Berharap itu bukan Zahea. Karena dia sedang berdua dengan seorang cewek.
Aku kaget melihat mereka berdua sedang asyik memilih baju. Yang membuat aku semakin panas adalah adegan ‘rangkulan’ di depan umum.
Lalu sang cewek mengajaknya ke kamar pas, cowok itu masuk, cewek itu mengikuti, dan mulai terdengar suara kecupan diselingi tawa, (ih aku ga tau kenapa nulis ini yang pasti aku tau kalo ini MENJIJIKKAN) kok mbak-mbak penjaga nggak curiga ya.
Matahari saat itu memang sepi. Tak ada orang selain aku, Rehsa, Zahea, mbak-mbak, dan ceweknya Zahea.
Alamak, ternyata bener-bener ZAHEA yang kusukai. Darahku naik, kepalaku pening, pipiku mulai basah.
Aku berlari ninggalin Rehsa, sedih juga rasanya, namun aku nabrak seorang cowok yang pernah kutemui. Dia sepertinya yang nganterin surat ke aku deh.
“Lho, Niel .. ? Aku Sano .. Kamu nggak sama Rehsa?”tanyanya. Benar kan, dia Sano.
“Aku gak suka Rehsa,”kataku lirih. Sano menatapku tidak percaya.
“Masak ada cewek yang nolak Rehsa .. Rehsa itu finalis Top Model 2010 lho,”lanjutnya.
Aku terdiam. Pipiku panas lagi oleh air mata. Sano menatapku kasihan.
Dia mengusap air mataku perlahan dan menjatuhkanku ke pelukannya yang hangat.
“Jangan nangis .. dan jangan bilang siapa-siapa,”katanya.
Aku gak peduli.Aku tetep nangis seperti anak kecil yang ditenangkan oleh Ibunya. Lalu, aku diantar pulang oleh Sano.
Sano anak baik. Dia menghiburku semalam. Rehsa malah tidak bertanggung jawab.
Sano mengingatkanku terhadap Ayah dan Bunda. Mereka sering menghiburku ketika aku masih kecil. Sekarang, Sano membuatku tidak kesepian lagi. Aku harus berterimakasih pada Sano.
Ya Allah, dengan ini aku dapat pelajaran, orang yang aku cintai belum tentu cinta aku, dan belum tentu bisa membahagiakan aku.





Part Three
New School

Banyak teman – itu yang kurasakan sekarang. Sano mengenalkanku ke teman-temannya, cewek dan cowok, dan semuanya menerima aku dengan baik. Aku jadi semakin terkenal di sekolah publik. Ini membuatku gembira.
Tapi, tetep aja, keinginanku yang terbesar = aku ingin bersekolah di sekolah publik.
Sekarang aku udah mau kenaikan kelas. Aku mau daftar  kelas Jumnas, kelas-nya Sano, Rehsa, Eca, dan lainnya. Katanya, yang bisa masuk kelas ini hanyalah yang elit dan yang pinter-pinter banget. Aku  bisa daftar-semua karena Sano. Sekarang modalku hanyalah otak.
Ternyata bener apa kata orang-orang! Pendaftar kelas Jumnas diperbolehkan survey dulu melihat-lihat proses pembelajaran, dan it’s so amazing! Meskipun sekolah public, tetapi semuanya patuh terhadap tata tertib. Jadi, semuanya aman-aman aja.
Yang mengawasiku dari dalam kelas adalah :
1. Eca. Dia tampak takut aku akan hilang di kerumunan orang banyak, atau hilang karena kelindes kaki, -tidak mungkin-, tetapi semua itu seakan-akan terbayangkan jika menatap pandangan Eca.
2. Rehsa. Dia nampak tak percaya aku ikut survey pendaftaran kelas Jumnas.
3. Gak tau namanya, tapi itu pacarnya Zahea.
4. Sano. Sano melambaikan tangan ke arahku, hingga akhirnya guru Jumnas yang super galak melemparkan penghapus papan tulis ke wajahnya.
5. Zahea. Zahea Cuma sekilas, lalu memandang ceweknya lagi. Ih jijik aku.
Puyeng kepalaku liat Zahea, karena aku selalu teringat oleh adegan panasnya.
Setelah survey selesai dilaksanakan, mulailah tes tahap pertama, yaitu tes Akademik, yang terdiri dari 3 mapel, Kimia, Biologi, dan Fisika. Kenapa IPA semua?
Semua soal kira-kira levelnya anak kuliahan, maka tak heran kelas Jumnas begitu terkenal, tesnya aja begitu susah.
Tes kedua, tes Komputer. Dengan menggunakan komputer tercanggih abad ini, disuruh bikin program seperti “Microsoft Word” tapi khusus untuk orang yang tuna netra.
Tes ketiga, sepertinya inilah yang paling aku tidak bisa, tes Wawancara. Dari perilaku, penampilan hingga cara berbicara semuanya dinilai, dan dari penampilanku, aku adalah anak yang tidak sopan.
Tes keempat, aku gak tau namanya, tapi kita disuruh masuk ke suatu ruangan yang terdiri dari 3 guru Jumnas, yang akan mengetes kepribadian, karena mereka akan menekan kami habis-habisan.
Yah, hasilnya, anak itu akan loyo, lesu, stres, karena 3 guru itu adalah guru KILLER di Jumnas.
Pengumuman lewat Online, diumumkam besok sore jam 5. Aku pulang dengan loyo, lesu, dan stres, hampir pingsan karena hampir tidak kuat menerima tekanan dari sang Murder.
Pulang bersama Eca, aku masih loyo. Eca heran melihatku.
“Ngapa lu, El? Biasanya heboh amat, sekarang loyo!”kata Eca nyindir.
Aku gak jawab.
“Hmhm, pasti tesnya susah?”katanya. Aku gak jawab.
“Hmhm, pasti komputernya macet?”katanya. Aku gak jawab.
“Atau jangan-jangan, kamu takut sama 3 guru terkiller?”katanya.
Aku mendelik sebentar, lalu loyo lagi, dan mengangguk pelan.
“NAH!”Eca teriak, aku kaget.
“Ni—eel, itu tes yang paling menentukan masuk atau nggak, tapi ga apa apa, pertama aku ikut tes Jumnas juga kayak gitu kok, tapi, 3 guru itu sebenarnya baaiikk bangeeet,”kata Eca.
Aku mulai bicara dengan masih loyo.
“Ga percaya, masak kayak gitu dibilang baik, serem tau,”kataku.
“Hihi, garing,”kata Eca. Siapa yang ngelucu sih??
“Dek Niel. , 3 guru itu namanya Bu Merlinda, Bu Purick, sama Pak Prishka,”kata Eca. Mentang-mentang lebih tua sebulan aja langsung panggil “dek”.
Aku terbelalak. Aku pernah baca di koran, mereka adalah guru teladan internasional.
“Kaget?”kata Eca.
“Ya begitulah,”kataku nggak loyo lagi. Aah aahaa aaahyyaayy, tak kusangka aku telah bertemu guru idolaku.
“Dan, yang paling penting,”katanya lagi. “Yang ngajarin guru-guru di SMA ini, agar berprestasi, ya 3 guru itu,”kata Eca lagi.
“O”kataku. Lalu, aku tersenyum.
“Bener juga, ya. Kenapa harus takut?”kataku.”Kalau aku tidak keterima, aku kan tidak ketemu 3 guru itu lagiii,”kataku.
Eca malah bengong liat aku.
***
Sekarang waktu yang kutunggu-tunggu. Aku bergegas duduk di depan komputer, lalu mengetik alamat URL-nya.
lalu, ku pencet tombol ‘enter’ lalu kulihat pengumumannya.
Yang dapat melanjutkan ke Jumnas :
NO
NAMA
KELAS
NILAI
1
Anafah Shingki
10ª
115
2
Amilati Nur M
10ª
110
3
Bobby Sanggilang
10e
110
4
Edward Chandra Eva
10f
119
5
Frischa Anielka
PS (prívate Schooling)-10h
105
6
Genanda Ismi
10e
117
7
Guppy Hani Hacka
10c
123
8
Hogisa Yangmaa
10e
137
9
Irrack Husseina
10g
121
10
Yayassa Ilmi   Inka
10f
128
11
Yeppy Nisa Kandau
10e
124
12
Zahra Toppa
10b
185
NB : Kelas Jumnas dimulai 2 minggu lagi, setelah tes murid diharapkan masih belajar di kelas reguler untuk sementara.
Ah, aku masuk Jumnas! Tapi nilaiku kok paling rendah? Jangan sampe aku jadi murid paling bego nanti di Jumnas.
EGP laah. Sekarang urusanku kan cuma itu. YA ITU. 3 guru yang KILLER. Huuuh, takuut, tapi aku lebih takut sama pacarnya Zahea. Karena mesum. Hahahaha.
Ngerti maksudku? Pasti pacarnya Zahea itu yang minta Zahea buat ke kamar pas bareng dia. Ga kusangka di kelas Jumnas ternyata ada orang mesum kayak gitu.
Mmmh, aku jadi jijik sama kelas Jumnas ==”.

Part Four
New School, New Life, New Style
Sudah bisa menebak style-ku dari cerita di atas? Kalau bisa, style-ku seperti apa hayooo?
Bagi yang menjawab “aku anak cupu dan pemalu” silahkan baca lagi dari part 1. Yang menjawab “aku anak aneh yang pikirannya neko-neko” silahkan baca lagi dari part 2. Yang menjawab “aku gali, aku ga sopan, aku berani” silahkan lanjutkan membaca dari huruf ini.
Yaaap aku adalah anak yang gali-tau gali gak? Gali itu preman. Huaha. Aku cuek terhadap penampilan luka bakar di mana-mana. Aku yakin, ‘menarik’ itu bukan hanya dilihat dari wajah saja, namun juga sifat, otak, dan lain-lain.
Jika wajahku jelek dan sifatku preman, berarti modalku cuma otak dong? Itupun otakku paling bloon di kelas Jumnas. Ahihi.
Ah ga tau ah, emang gue pikirin.
***
Sudah 2 minggu setelah pengumuman kelas Jumnas, dan berarti sekarang waktunya mulai belajar di kelas baru.
Mungkin, seiring di kelas Jumnas, bakalan ada  beberapa sifatku yang berubah.
HIPOTESIS NIEL à
Kalo dulu, waktu aku jalan kaki sampe sekolah, aku cuek tapi sambil nunduk-nunduk. Soalnya aku minder sama keadaanku yang home-schooling. Terus, biasanya aku ditemenin Eca. Takut diapa-apain gitu deh. Biasanya juga, langkah kakiku berat, males ke sekolah. Kalo udah nyampe sekolah tu ya, biasanya males banget ke kelas. Kalo udah sampe kelas, males banget ketemu guru.
Sekarang apa yang terjadi? Jalan kaki penuh gengsi dengan pandangan tegak lurus, jalan dengan Eca atau tanpa Eca tak jadi masalah. Kalo ada apa-apa, tinggal memanfaatkan otak aja (sombong mode on). Langkah kaki ringan, pengen cepet-cepet ke kelas Jumnas, menerima pelajaran baru, yang levelnya lebih tinggi daripada kelas reguler.
  TERIMA KASIH TELAH MEMBACA HIPOTESIS NIEL.
Sekarang, mari kita lihat pembuktiannya.
50% hipotesisku benar. Kebanyakan yang benar tentang perubahan sifat, sedangkan yang menyangkut tentang otak~ gak tepat sama sekali. Malahan langkah kaki jadi tambah berat, takut ga bisa ngikutin pelajaran di kelas Jumnas. Namun apa daya, aku udah dipilih, aku harus bersyukur. Apalagi aku tidak belajar waktu itu. Jika dibandingin sama teman-teman yang belajar mati-matian demi kelas Jumnas tapi malah tidak kepilih, aku itu beruntung! BERSYUKURLAH NIEL KAMU PASTI BISA!!!
Intinya, ada perubahan dari diriku. Itu masih sebagian kecil. 
***
Sesampainya di kelas, kenapa masih sepi ya? Di kelas cuma ada aku dengan Zahra, teman sekelasku yang nilainya paling tinggi ketika tes Jumnas. Setelah menaruh tas, aku menghampiri Zahra.
Zahra sedang asyik membaca buku dan tiba-tiba aku memanggilnya....
“Kamu Zahra?”
Dia langsung menutup bukunya dengan terbata-bata dan secepat mungkin dia bisa. Dia langsung membenarkan kacamata hitamnya dan mengibas rambutnya yang menghalangi wajahnya ketika dia membaca buku.
“I..iya, ka ka kamu si siapa?” tanyanya dengan nada agak takut.
Aku terbelalak ketika melihat dia takut. Jangan-jangan dia malah takut sama mukaku. Huft.
“Aku Niel, dari kelas 10H HS. Kamu dari kelas apa?” tanyaku.
“Aku 10B.. kamu HS? Enak ya, bisa langsung bertatapan dengan guru. Eh aku numpang curhat ya,” katanya sambil melihat ke arah luar. Pantas dia tidak takut, lha wong dia ngga liat wajahku.
Agak jengkel juga sih, tapi apa boleh buat.
“Eh iya silahkan, ga papa kok curhat” kataku sok bijaksana.
“Gini lho El. Aku dari dulu pengen Home Schooling, tapi ga boleh sama mama papaku. Makanya aku dimasukkin ke sekolah ini, kan termasuknya sekolah bagus. Terus, aku jadi bagian dari murid 10B, tapi aku gak suka. Anak-anak 10B itu pada nggak akur. Pada nge-gang. Di kelas, yang sifatnya netral dikucilkan. Termasuk aku. Jadi kalo ada tugas kelompok aku paling susah nyari temen,” lanjutnya.
Aku terdiam. Ternyata, kelas publik tidak seenak yang aku bayangkan.
“Makanya aku ngejar kelas Jumnas. Aku males sama temen-temenku yang di 10B. Aku fokusin ke belajar, biar bisa pisah sama mereka. Alhamdulillah keterima. Meskipun aku tetep ngga bisa home-schooling sih, tapi aku bersyukur deh bisa pisah dari mereka. Semoga aja Jumnas tahun ini ngga ada gang-gangan. Aminaminamin,” katanya, masih melihat ke arah luar.
Dalam hati, aku berpikir. Setiap orang pasti ga pernah puas. Contohnya, aku yang terbiasa di HS, bosen, pengen kelas publik. Dan ini tercapai. Sedangkan Zahra, yang nggak suka nge-gang malah dikucilkan di kelas publik, pengen home-schooling, tapi ngga dibolehin sama mama-papanya. Dia bisa masuk kelas Jumnas aja bersyukurnya minta ampun. Sedangkan aku?
Aku jadi inget apa kata mama dulu. “Niel, jadi orang ngga boleh egois.” Dulu aku pikir egois itu hanya mementingkan diri sendiri daripada kepentingan negara negara yang kayak di PPKn kelas 2 SD. Sekarang aku udah tau arti egois yang sebenarnya. Selama ini aku egois. Aku pengen sama Zahea selalu, tapi cemburu dan jijik waktu dia seneng-seneng sama pacarnya. Waktu orang-orang jijik melihat aku, ada Eca yang setia banget sama aku, tapi aku malah nganggep Eca nyebelin.
Dalam hati, perih rasanya. Pengen banget minta maaf sama mereka, tetapi kalau minta maaf, ntar malah diketawain. Soalnya sikapku ke mereka sama apa yang sebenarnya di hati beda jauh.
“Zahra, makasih ya, makasih banget,” kataku sambil merunduk dan kembali ke tempat dudukku. Kebetulan udah rame, dan temen sebangkuku sudah ada. Zahra hanya menatapku dengan pandangan gak jelas, dan dia melanjutkan baca buku.
Aku beralih ke teman sebelahku. Dia cewek berkerudung, jilbabnya panjaaang, susah baca nama dadanya. Langsung kenalan aja ah ~
Sebelum aku menyelesaikan satu kata, aku langsung disemprot.
“Apa lo liat-liat!” katanya sambil melihat wajahku dalam-dalam. Spontan aku juga melihat wajahnya yang putih, cantik, bersih, seperti model! Namun, amarah meliputi wajahnya.
“Maaf, maaf, a, aku cuma mau tau namamu dari nama dada tapi ketutupan jilbab, kesannya aku merhatiin ya, maaaaaaf L” kataku.
Dia yang semula memerhatikan wajahku dengan amarah, langsung mereda.
“E, eh iya, iya ga papa kok, ini nama dadaku, aku Amilati Nur Maulia, maaf ya tadi sikapku galak banget, tadi aku lagi sensi. Hehe. Nama kamu siapa?”
Aku bengong. Rupanya Amilati ini orangnya moody.
“Makasih ya hehe, aku Frishca Anielka, hehe,” kataku sambil menunjukkan nama dada.
“Kamu dipanggil siapa? Frishca? Wah kamu western banget ya, muka kamu juga kayak orang bule, mata hijau. Tapi itu luka bakar kenapa?” tanyanya perhatian.
Dalam hati aku bangga. Masih ada yang nganggep aku mirip bule. Tetapi dalem hati aku ngga mau nginget-nginget peristiwa meninggalnya orang tuaku sama peristiwa aku dibakar di atas tungku minyak.
“Aku Niel. Kamu siapa? Ami? Hehe makasih makasih, tapi bulenya bule pinggiran, aku kan jelek. Haha. Ini luka bakar bekas kecelakaan biasa kok. Hehe”kataku bohong.
“Iya aku Ami, tau aja. Haha. Nggak kok. Cantik. Wkwk. Cuma luka bakar itu dirawat aja biar nggak ngebekas lagi. Kalo masih bekas kan keliatannya aneh gimana gitu. Nanti aku kasih tau caranya deh. Ini tanganku pernah kebakar di tungku minyak 3 bulan yang lalu sekarang udah agak ilang nih,” katanya sambil menunjukkan tangannya.
Hey, tungku minyak.  Bekas lukanya hilang. Berarti bekas luka bakar di wajahku bisa hilang dong dengan bantuan Ami? Yes.....
Tidak lama setelah itu, bel berbunyi tanda pelajaran dimulai. Pelajaran awal, hm, tidak terlalu sulit. Semuanya lancar hingga istirahat.
Aku melihat anak-anak Jumnas berhamburan ke kelas asalnya untuk memberi kabar tentang Jumnas, kecuali...
Zahra.
Aku mengerti alasannya. Aku ingin menghiburnya, tapi di sisi lain aku tidak ingin menyampuri urusannya.
 TO BE CONTINUED :D